Twitter

Friday, February 24, 2012

RUMAH ANAK BANGSA

RUMAH ANAK BANGSA


EKONOMI PANGLIMA PENDIDIKAN, Diskusi RAB

Posted: 24 Feb 2012 12:59 AM PST


EKONOMISEBAGAI PANGLIMA: TELAAH UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA

Irfan Palippui dan Wahmuji[1]

PENGANTAR
Dalam dasawarsaterakhir, begitu banyak perguruan tinggi (PT) di Indonesia, entah swasta maupunnegeri,  secara hampir bersamaanmembangun gedung-gedung baru bertingkat yang megah. Itu yang tampak dari luar.Dan 'lomba pembangunan' antar-PT itu tidak berhenti di gedung saja. Fasilitas-fasilitasdi dalam kampus juga di-upgrade,disesuaikan dengan teknologi terbaru. Juga, bahasa pun tampaknya perlu di-upgrade ke bahasa yang mendunia, yaknibahasa Inggris. Universitas Negeri Yogyakarta kini punya nama baru yang lebihkeren, Yogyakarta State University.Universitas Islam Indonesiamenjadi Islamic University of Indonesia. Universitas Gadjah Mada menjadi Gadjah Mada University.Keterangan-sanding dari universitas-universitas itu pun diusahakan dalam bahasaInggris karena tampaknya semua memiliki visi baru: menjadi universitas bertarafinternasional. Seminar-seminar internasional mulai banyak diselenggarakan. Dankebanggaan muncul ketika sebuah perguruan mampu melakukan program KKN keluarnegeri, pertukaran pelajar lintas-negara, seminar internasional, atau ada bule yang kuliah di sana.
            Istilah-istilah baru perihal status perguruan tinggimuncul berseliweran dan protes-protes juga banyak menghiasi media. Kita mendengarbahwa beberapa universitas di Indonesiaberubah status hukumnya menjadi Badan Hukum Milik Negara. BHMN kemudian berubahmenjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kini, Badan Layanan Umum mengemuka. TujuhPerguruan Tinggi yang sebelumnya berstatus BHMN (Universitas Indonesia,Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung,Universitas Sumatra Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan UniversitasAirlangga) kini sedang bersiap-siap menjadi Badan Layanan Umum.[2]
            Kalau ditilik lagi, protes atas kebijakan pendidikanberlangsung cukup sering dan dalam waktu yang lama. Bahkan sejak UU Sisdiknasdisahkan pada 2003. Berbagai kalangan, utamanya dari intelektual umum danmahasiswa, menilai bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pendidikanmengarah pada satu tujuan: privatisasi pendidikan. Dan privatisasi pendidikandianggap sebagai jalan keluar pragmatis pemerintah untuk melepaskan diri daritanggung jawab pembiayaan pendidikan. Protes-protes itu biasanya tidak pernahmampu dijawab pemerintah dengan elegan, tapi justru dipatahkan dengan carapragmatis juga, yakni dihadapkan dengan aparat.
Namun,gerakan protes ternyata tidak langsung reda. Berbagai jalur, entah litigasimaupun non-litigasi ditempuh bersama-sama. Akhirnya, usaha litigasi melaluipengajuan judicial review membuahkanhasil. Pada 31 Maret 2010, UU BHP dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Lalu, apayang terjadi setelahnya? Secara umum tampaknya tidak ada yang berbeda danmasyarakat awam tidak terlalu paham perbedaan-perbedaan status dandampak-dampaknya. Yang dirasakan hanyalah bahwa kini biaya perguruan tinggisemakin mahal. Uang DPP atau UKT naik secara drastis hampir tiap tahun. Sebagaicontoh, UGM yang konon merupakan kampus rakyat kini dianggap banyak orangsebagai kampus orang kaya. Perasaan protes itu pun bisa langsung ditangkaldengan mitos yang baik adalah yang mahal.
            Fenomena lain yang sedang mengemuka adalah kewirausahaanperguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi membuat usaha sendiri, dari kantin,rumah susun, toko kelontong (mini-market),hingga hotel. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan juga diarahkan atau paling tidakmengandung unsur kewirausahaan (entrepreneuship).Seminar-seminar tentang kewirausahaan banyak diselenggarakan di perguruantinggi. Bahkan, beberapa fakultas di luar ekonomi, misalnya Bahasa dan Sastra,Ilmu Pendidikan, atau Olahraga ikut menyelenggarakan seminar kewirausahaan. Ada juga pelatihanmembuat blog bagi guru yang tujuannya adalah menghasilkan pengelolaan blog yangkreatif dan berpenghasilan.. Kini, di banyak universitas juga sedang munculHimpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).[3]
            Apakah semua fenomena itu saling terkait? Kalo iya, apaatau bagaimana hubungan satu fenomena dengan fenomena lainnya? Siapakah yangmenelorkan konsep-konsep baru mengenai pendidikan tinggi di Indonesia itu?Apa tujuannya? Atas dasar apa? Singkatnya, apa yang sedang terjadi denganpendidikan atau perguruan tinggi di Indonesia? Bagaimana kita harusmenyikapinya?
            Pertanyaan-pertanyaan itu akan kami coba jawab denganmenyelidiki data-data mengenai kebijakan-kebijakan yang melandasi tata keloladan keuangan pendidikan tinggi, akar dari kebijakan-kebijakan itu, dan parapemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, kamijuga memaparkan kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi, mengambil poin dariberbagai penelitian tentang subjek yang sama di berbagai negara. Kami memilihuntuk menyelidiki peraturan-peraturan mengenai tata kelola perguruan tinggi,meski sedikit banyak peraturan lain akan disinggung, karena dalam dasarpengelolaan suatu lembaga terkandung seluruh visi dan misi, sertakemungkinan-kemungkinan jalan yang akan ditempuh untuk mencapainya.

ANALISIS
Undang-undang danPeraturan Pemerintah
Dasar semua hukum di Indonesiaadalah UUD 1945. Begitu pula dengan payung hukum pendidikan di Indonesia.Pokok yang diambil dari UUD 1945 antara lain di bagian Pembukaan, Pasal31 (ayat 1, 2, dan 3)dan pasal 28 C (ayat 1) yang kesemuanya berkaitan dengan hak warga negaramendapatkan pendidikan dan pernyataan bahwa pemerintah mengusahakan danmenyelenggarakan pendidikan. Pasal lainnya, yang berhubungan dengan prosedurpembuatan UU, adalah pasal 20 dan 21. Dengan rujukan semua pasal itulah UUSisdiknas no. 20/2003 lahir. Undang-undang itu mengatur keseluruhankonsep-konsep dasar pendidikan di Indonesia yang antara lain meliputi Dasar,Fungsi dan Tujuan Pendidikan; Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan; Hak danKewajiban Warga Negara, Orangtua, Masyarakat, dan Pemerintah; Peserta Didik;Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan, dll. Sedangkan untuk pendidikan tinggi,fokus kajian makalah ini, diatur dalam bagian keempat pasal 19-25. Akan tetapi,tidak ada yang perlu dibahas lebih lanjut mengenai pasal-pasal itu karenasemuanya berbicara mengenai konsep-konsep yang umum. Permasalahan pendidikantinggi di Indonesiamuncul dari beberapa pasal lain, yakni Bab IV mengenai Pengelolaan Pendidikan,yakni pasal 50, 51, dan 52; serta pasal 53 mengenai Badan Hukum Pendidikan.Pengelolaan Pendidikan terkait erat dengan bab lain, yakni Pendanaan danPengawasan. Pendanaan diatur dalam pasal 46, 47, 48 dan 49; sedang pengawasandiatur dalam pasal 66.
Marikita selidiki apa isi pasal-pasal itu. Pasal 50 terdiri dari 7 ayat, berisikanantara lain penanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional (menteri),penentu kebijakan standar nasional pendidikan (pemerintah), kewajibanpemerintah daerah perihal penyelenggaraan satuan pendidikan, proses koordinasiatas penyelenggaraan pendidikan, kewajiban pemerintah kabupaten/kota untukmenyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi perguruan tinggi.Yang menarik dari tujuh ayat dalam pasal itu adalah munculnya frase dan istilah'bertaraf internasional', 'berbasis keunggulan lokal', dan dan 'otonomiperguruan tinggi.' Frase 'bertaraf internasional' dilekatkan pada semua jenjangpendidikan. Maka, tidaklah heran kalau kita melihat banyak SD, SLTP, maupunSLTA, selain perguruan tinggi, yang mencoba melabeli dirinya 'bertarafinternasional.' Frase 'berbasis keunggulan lokal' dilekatkan pada pendidikandasar dan pendidikan menengah.
Istilah-istilahitu dapat ditemukan definisinya di berbagai pasal di PP no. 66 tahun 2010.Pasal 1 ayat 34, misalnya, mendefinisikan 'pendidikan berbasis keunggulanlokal' sebagai pendidikan yangdiselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkayadengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah. Sedangkan pasalyang sama ayat 35 mendefinisikan 'pendidikan bertaraf internasional' sebagai pendidikan yang diselenggarakansetelah memenuhi StandarNasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan Negara maju. Dalam definisi itu, ada tiga elemen yang dibayangkan:lokal, nasional, dan internasional. Dan pendidikan Indonesia tampaknya diusahakanuntuk mampu mengintegrasikan tiga hal itu. Di pendidikan dasar-menengah, nilaikelokalan dijadikan basis; sedang di pendidikan-tinggi, yang internasional-lahyang ingin dicapai.
Pasalselanjutnya dari Sisdiknas, yakni pasal 51, berbicara mengenai dasarpelaksanaan standar pendidikan. Pendidikan usia dini, pendidikan dasar danpendidikan menengah didasarkan pada prinsip manajemen berbasis sekolah; sedangpendidikan tinggi berdasarkan otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, danevaluasi yang transparan. Penjelasan atas istilah-istilah dasar pengelolaan itudijabarkan pula di PP no. 66/2010, yakni di pasal 49 ayat 2. Prinsip-prinsippengelolaan satuan pendidikan merujuk pada lima prinsip. Berikut kutipan lengkapnya:
a)     Nirlaba,yaitu prinsip kegiatan satuan pendidikan yang bertujuan utama tidak mencari keuntungan, sehingga seluruhsisa lebih hasil kegiatan satuan pendidikan harus digunakan untukmeningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan satuan pendidikan;
b)     Akuntabilitas,yaitu kemampuan dan komitmen satuan pendidikan untuk mempertanggungjawabkan semuakegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan;
c)     Penjaminanmutu, yaitu kegiatan sistemik satuan pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan formal yangmemenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan secaraberkelanjutan;
d)    Transparansi,yaitu keterbukaan dan kemampuan satuan pendidikan menyajikan informasi yang relevan secara tepatwaktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yangberlaku kepada pemangku kepentingan;dan
e)     Aksesberkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calonpeserta didik dan peserta didik, tanpa pengecualian.

Sedangkanuntuk otonomi PTN, penjelasannya ada dalam pasal 58 dari PP yang sama. Otonomidiartikan kewenangan rektor, ketua, atau direktur untuk menentukan secaramandiri satuan pendidikan yang dikelolanya. Kewenangan itu antara lain dalambidang manajemen organisasi, akademik, kemahasiswaan, sumber daya manusia,sarana dan prasarana, dan keuangan. Singkatnya, pengaturan satuan pendidikantidak lagi terpusat, meski pemerintah, melalui DIKTI, masih bisa melakukanpengawasan intervensionis melalui akreditasi, pengecekan laporan, dll.
Selanjutnya,pasal 52 dari UU Sisdiknas berbicara mengenai pendidikan nonformal. Pendidikanini dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Tidakada yang perlu dibicarakan mengenai pasal itu. Pasal selanjutnya-lah yangmengundang kontroversi. Pasal 53 berbicara tentang Badan Hukum Pendidikan. Dipasal itu dinyatakan bahwa "penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formalyang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan."Ketentuan mengenai badan hukum pendidikan itu kemudian melahirkan UU BHP.
Bablain yang terkait erat dengan pengelolaan kampus adalah Pendanaan Pendidikan(pasal 46-49). Dalam 4 pasal itu, secara umum ditentukan bahwa (1) pendanaanpendidikan menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, danmasyarakat; (2) sumber pendanaan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dankeberlanjutan; (3) pengelolaan dana didasarkan pada prinsip keadilan,efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik; dan (4) alokasi dana minimal20% dari APBN dan APBD bagi dunia pendidikan di luar gaji pendidik dan biayapendidikan kedinasan. Dalam perkembangannya, Pemerintah memasukkan gajipendidik dan biaya pendidikan kedinasan dalam cakupan dana 20% dari APBN danAPBD itu. Rincian mengenai Pendanaan Pendidikan kemudian diatur dengan PP no.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan PP no. 48 tahun 2008 tentangStandar Nasional Pendidikan.
Sepertidiceritakan di awal, saat ini UU BHP yang lahir dari pasal 53 UU Sisdiknastelah dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Berikut kami paparkansecara singkat bergulirnya wacana yang mengemuka hingga dicabutnya UU itu.
Protesterhadap kebijakan pendidikan nasional sudah berlangsung sejak lama danprivatisasi pendidikan adalah isu utama yang mengemuka. Isu privatisasidihubungkan secara cukup tepat oleh para kritikus dengan International MonetaryFund (IMF). Pada masa krisis moneter 1997-1998, Indonesia meminta bantuan IMF danpada tahun 1999 menandatangani Letters ofIntent dengan IMF. Bantuan uang, tepatnya utang, kemudian diberikan olehIMF dengan berbagai persyaratan. Yang utama pemotongan hingga pencabutansubsidi di berbagai sektor, misalnya kesehatan dan pendidikan. Dari situlahcampur tangan asing terhadap pengelolaan pendidikan di Indonesiadianggap mulai terasa.
Parakritikus memandang privatisasi sebagai sesuatu yang buruk, dengan bukti yangtampak di depan mata: biaya pendidikan mahal. Untuk meredam suara keras publikyang memprotes mahalnya biaya pendidikan, pemerintah mengeluarkan wacana baru:bebas biaya pendidikan. Nyatanya memang subsidi bagi pendidikan dasar danmenengah memang tetap ada, yakni melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS),meski di tingkat pendidikan tinggi, janji pemerintah itu adalah janji penenangsaja. Di perguruan tinggi negeri, biaya pendidikan tetap mahal dan stratamahal-murahnya biaya itu didasarkan pada minat pasar. Prodi yang diminatipublik karena dipandang mampu memberikan jaminan kerja menjadi mahal (misalnya,kedokteran, psikologi, manajemen, akuntansi). Fasilitas-fasilitas untuk prodi penghasil uang itu biasanya jugaditingkatkan untuk terus menggaet konsumen mahasiswa.
Aromaprivatisasi pendidikan tinggi negeri dicium dari beberapa pasal dalam UUSisdiknas, terutama yang berkaitan dengan bergesernya tanggungjawab pemerintahdalam pembiayaan. Pasal-pasal itu antara lain pasal  9, 11, dan 12.  Pasal 9 menyatakan bahwa "masyaratkanberkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan."Sedangkan pasal 12 ayat 2(b) memberi dasar pada kewajiban peserta didik untukikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, meski beberapa dibebaskanmelalui beasiswa sesuai dengan ketentuan undang-undang yang lain.
Sedangkanpasal 11 UU Sisdiknas ayat (1) dan (2) dengan halus menggeser kadar keharusanpemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Di ayat (1) dinyatakan bahwa "[p]emerintah dan pemerintah daerahwajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannyapendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi." Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah hanyaterbatas jaminan "terselenggaranya pendidikan", sedangkan dana pendidikan tidakharus, atau lebih tepatnya tidak perlu, diberikan oleh pemerintah. Namun, tetapada pengecualian, yakni pada program wajib belajar. Perihal itu dijabarkan diayat selanjutnya yang menyatakan bahwa wajib belajar adalah "program pendidikanminimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawabPemerintah dan pemerintah daerah."
Buahtidak akan jatuh jauh dari pohonnya. UU BHP konsisten dengan pasal-pasal di UUSisdiknas mengenai pengelolaan pendidikan tinggi. Bau badannya sama:privatisasi. Makanya, mudah saja bau itu dicium bahkan saat RUU BHP sedangdibahas oleh komisi X DPR RI pada tahun 2007. Berbagai kelompokmahasiswa mulai mengadakan pertemuan dan pembahasan UU itu secaraintensif.  Di Makassar, misalnya, lahirorganisasi massaGERAM Tolak BHP (Gerakan Rakyat Makassar Tolak BHP) yang merupakan gabungandari 66 organ.
Salahsatu bagian yang dikritik dan ditolak oleh GERAM adalah 2 prinsip UU BHPdibuat, yang maktub di Pengantar Umum.
a.      Pendidikan diselenggarakan secara demokratis danberkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasimanusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan
b.     Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakansemua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan danpengendalian mutu layanan pendidikan.

Apa yang salah dari dua poin itu? Poin (a) sama sekali tidakbermasalah, dan bisa dibilang mulia. Poin (b) pun bisa dikata merupakan turunanlangsung dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan: bahwa kinimasyarakat terlibat aktif baik dalam penyelenggaraan maupun pengendalian mutupendidikan. Tapi justru hal itulah yang menimbulkan kecurigaan. Dan kecurigaanitu mulai menemukan jawabnya di poin pembuka, tepatnya di bagian menimbang huruf a. Disebutkan di situbahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, diperlukanotonomi dalam pengelolaan pendidikan formal. Perihal otonomi sudah dijelaskandi UU Sisdiknas dan diulangi lagi di UU BHP dan diberi penjelasan di pasal 3.
Pasal selanjutnya yang mendapat sorotanadalah pasal 11. Di ayat 1 huruf (d) disebutkan bahwa kekayaan BHP dipisahkandari kekayaan pribadi. Ayat 2 dari pasal yang sama menyatakan bahwa Kekayaanyang dimiliki BHP harus mencukupi biaya investasi dan operasional pendidikan.Di situ bau privatisasi sudah sangat menyengat. Kata investasi pun menguatkan perkiraan bahwa sekolah adalah bisnis.Pengelolaan yang otonom berarti pengelolaan mandiri, pemerintah tidak akanturut campur. Lalu, siapa yang akan memberikan dana investasi dan operasional?
Bab IV, mengenai Tata Kelola, menjelaskanbahwa struktur organ pemangku kepentingan berasal dari berbagai kalangan.Struktur yang terdiri dari organ-organ, dan dijelaskan dengan rinci lewat pasal14-36 itu dianggap sebagai struktur perusahan terbuka. Ciri utamanya adalahbahwa anggaran sebuah BHP dibuat oleh pendiri. Pemisahan fungsi akademik dannon-akademik juga ditengarai membuka jalan untuk membisniskan pendidikan.
Bab V berbicara mengenai Kekayaan, dan bisadibilang lanjutan rinci dari poin (d) ayat 1 pasal 11. Dijelaskan di bab itubahwa kekayaan BHP didapat dari jumlah kekayaan awal dan pendapatan yangdiperoleh. Itulah kata kunci lainnya: pendapatan. Artinya: laba dari aktivitaskomersil. Bentuk kekayaan bisa berupa uang dan barang yang bisa dinilai denganuang—termasuk di dalamnya hak paten atas kekayaan intelektual. Kekayaanintelektual menjadi milik institusi!
Bab VI, mengenai Pendanaan, memperkuat hakpemerintah untuk lepas tangan dari pembiayaan pendidikan. Bab itu adalahturunan langsung dari pasal 11 UU Sisdiknas ayat 1 dan 2. Isinya pun hampirsama, terutama perihal siapa saja yang bertanggung jawab atas biaya pendidikan.Tambahannya adalah rincian pembagian pendidikan tinggi menjadi Badan HukumPendidikan Pemerintah (BHPP), Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD),Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), dan BHP Penyelenggara. Bentuk badanhukum yang disebut terakhir mengacu pada institusi pendidikan yang didirikanmasyarakat dan sudah ada sebelum UU BHP disahkan. BHP Penyelenggara bisamelakukan investasi dalam bentuk portfolio (perjanjian kerjasama ataupunhutang) dan dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum (pasal 42 dan 43).
             Itulah pasal-pasalmantan UU BHP yang dikritik. Setelah UU BHP dicabut Mahkamah Konstitusi,pemerintah PP no. 66 tahun 2010 sebagai payung hukum pendidikan tinggi diIndonesia. Sementara itu, sebagai ganti UU BHP, dirancanglah UU PendidikanTinggi (PT). Perbedaan  UU BHP dan RUUPendidikan Tinggi  telah dipetakan denganbaik oleh Darmaningtyas.[4]Ada beberapaperbedaan antara keduanya, akan tetapi tidak ada perbedaan mendasar di bidangpengelolaan. Di pasal 4 BHP dijelaskan bahwa pengelolaan dana pendidikan tinggibersifat mandiri, sedangkan pengelolaan pendidikannya adalah: otonomi,akuntabilitas, transparansi; penjaminan mutu, layanan prima; akses yangberkeadilan; keberagaman, keberlanjutan, dan partisipasi atas tanggung jawabnegara. Di RUU PT, pengelolaan dananya bersifat otonom, sedang pengelolaanpendidikannya dibagi menjadi tiga, yakni: otonom, semi otonom, dan otonomterbatas.
            Kata otonomimendominasi pengelolaan pendidikan tinggi, baik itu di UU Sisdiknas, UU BHPmaupun di RUU PT. Kata mandiri munculdi UU BHP menunjukkan dengan lebih jelas apa arti sebenarnya dari otonomi: bahwa pendidikan tinggi harusbisa menghidupi dirinya sendiri (pasal-pasalnya sudah disebut di atas). Maknaitu lebih jelas lagi jika ditelisik prinsip-prinsip berjalannya otonomi. Di UUBHP jelas maktub di pasal 4 bahwa yang dimaksud otonomi adalah kewenangan dankemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri (baik akademik maupunnon-akademik). Sedangkan di RUU PT, prinsipnya lebih abstrak, tapidiksi-diksinya tetap menyalin apa yang sudah dijabarkan di PP no. 66 tahun2010. Di antaranya adalah akuntabilitas, transparansi, efektivitas danefisiensi; dan yang lebih baru, kreativitas dan inovasi.
Otonomidimaksud di UU BHP dan RUU PT semuanya mencakup bidang akademik dannon-akademik. Yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah otonomi non-akademik,sedang otonomi akademik adalah persoalan lain yang juga rumit. Secara umummungkin dapat dikatakan bahwa persoalan otonomi akademik dalam perguruan tinggibelum menemui satu kontroversi yang besar, yang membangun secara kritismaknanya sendiri. Selain itu, keberadaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi(DIKTI) yang mengatur dan mengawasi gerak institusi-institusi pendidikan tinggimembuat makna frasa otonomi akademik perludiselidiki lagi.
            Seperti disinggung di muka, beberapa universitas yangdulunya berstatus BHMN kini bersiap-siap untuk menjadi Badan Layanan Umum(BLU). BLU adalah bagian dari Undang-undang Perbendaharaan Negara, tepatnya BabXII tentang Pengelolaan Keuangan Negara. Munculnya BLU didasari persepsi umumyang berlaku dalam masyarakat tentang oposisi antara pelayanan umum yangbersifat publik (negeri) dan swasta (korporasi). Pelayanan umum yang bersifatpublik dicirikan dengan motif menyediakan layanan bagi masyarakat, pendanaandari penerimaan pajak, dan pengelolaan melalui sistem APBN. Sedangkan swastadicirikan dengan motif mencari untung, pendanaan dari masyarakat, danpengelolaannya tidak melalui APBN. Kualitas dan harga dari kedua layanan umumitu dirasa berbanding lurus: layanan publik berkualitas rendah dan didapatdengan biaya rendah, sedang layanan swasta sebaliknya. BLU dianggapsintesisnya: kualitas tinggi, harga 'tengah-tengah', lembaganya tetappemerintah, tapi model pengelolaannya model korporasi. Dengan model inidiharapkan pelayanan publik menjadi lebih efisien dan efektif.  Pengelolaan Keuangan model BLU, memakaikata-kata Dirjen Perbendaharaan, merupakan "implementasi enterprising the government dan penganggaran berbasis kinerja."[5]Kami rasa perubahan status lembaga-lembaga pendidikan tinggi itu tidak banyakmempengaruhi perubahan paradigma pengelolaan pendidikan tinggi (otonomi,akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dll), tapi justrumelapangkan jalan untuk melaksanakannya secara efektif dan efisien.
            Keseluruhan konsep dalam payung hukum perundang-undanganPendidikan Tinggi di Indonesia itu, dari UU hingga PP, diusahakan untukterlaksana secara baik dan benar. Oleh karenanya, Departemen PendidikanNasional meluncurkan Rencana Strategis untuk tahun 2010-2014. Di dalam Renstra itu BHP, yang sudah dicabut MK,memang masih menjadi salah satu landasannya. Akan tetapi, dicabutnya BHPtampaknya tidak banyak memengaruhi strategi-strategi yang dirumuskan. Landasanpenelitian yang dipakai Departemen Pendidikan Nasional dan paradigmapengelolaan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas dan PP-PP turunannyatetap bisa dianggap valid.

Akar Paradigma
Beberapa kali kami telahmenyebut 'paradigma' untuk mengacu pada kesatuan kata-kata atau frasa-frasakunci dalam perundang-undangan pendidikan di Indonesia. Di antaranya:akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, bertaraf internasional,berbasis lokal, otonomi, transparansi, dan pengelolaan model korporasi.  Selain itu, ada juga istilah performance-based budgeting dan medium term expenditure framework yangcukup sering muncul di Renstra Departemen Pendidikan Nasional. Kata-kata atau frasa-frasa khaskorporasi yang muncul berulang dan dominan baik di perundang-undangan maupunRenstra itu membuat kami penasaran untuk mencari akarnya. Kami terkejutmenemukan bahwa semua itu sudah ada di dalam satu buku yang diterbitkan olehBank Dunia pada 1994 berjudul HigherEducation: The Lessons of Experience.
            Higher Education berisi telaah BankDunia mengenai kondisi pendidikan tinggi di negara berkembang danrekomendasi-rekomendasi untuk melakukan reformasi pendidikan. Bank Duniamenganggap bahwa pendidikan tinggi berada dalam kondisi krisis. Krisis yangdimaksud adalah kondisi pergulatan pendidikan tinggi untuk menjaga ataumeningkatkan kualitasnya saat anggaran pendidikan—khususnya pengeluaran untuktiap mahasiswa—ditekan.  Pemerintah tidaksanggup lagi memberikan dana yang melimpah untuk pendidikan tinggi sedangpendidikan tinggi terlalu tergantung pada pemerintah. Menurut Bank Dunia,fenomena itu terjadi di seluruh negara di dunia. Dan kondisinya lebih parah dinegara-negara berkembang karena dua hal. Pertama, penyesuaian fiskal di negara berkembangsulit dilakukan; kedua, negara berkembang susah untuk mencegah espansipendaftaran mahasiswa karena rasio pendaftaran mahasiswa (mahasiswa yangkuliah) rendah. Mengikuti perkembangan industri dan kebutuhan akan tenagakerja, negara-negara berkembang mencoba mengatasi masalah-masalah pendidikantingginya dengan subsidi. Akan tetapi, kebijakan itu, menurut Bank Dunia, tidakakan mampu bertahan untuk membiayai mahasiswa yang jumlahnya akan terusbertambah dan justru kualitas pendidikan menurun. Bank Dunia juga menambahkanbahwa subsidi yang dikeluarkan pemerintah negara berkembang tidaklah efisiendan merupakan "pengeluaran sosial yang regresif" karena banyak mahasiswauniversitas yang berasal dari kelas atas.
            Untuk mengatasi masalah-masalah itu, diperlukan reformasipendidikan. Bank Dunia memberikan strategi untuk reformasi pendidikan denganmemberikan empat arahan kunci. Keempatnya, kami terjemahkan langsung dari Higher Education, adalah:
·        Mendorong diferensiasiyang lebih luas untuk institusi-institusi, termasuk perkembangan institusiswasta
·        Menyediakan insentifbagi institusi negeri untuk mendiversifikasi sumber-sumber pendanaan, termasukbagi-ongkos dengan mahasiswa, dan mentautkan secara erat pendanaan pemerintahpada kinerja
·        Mendefinisikan ulang peranpemerintah di pendidikan tinggi
·        Memperkenalkankebijakan-kebijakan yang secara eksplisit dirancang untuk memberikan prioritaspada tujuan-tujuan kualitas dan kesetaraan

Tujuan pokok reformasipendidikan adalah untuk meningkatkan kesetaraan, efisiensi, dan kualitas sistempendidikan negara berkembang. Tujuan pokok itu bisa dicapai dengan empat arahanyang saling terkait tersebut. Di sini fokus pembicaraan adalah arahan kunciyang kedua, meski yang ketiga jelas terkait erat. Di dalam penjabaran arahan kedua,yakni perihal pendanaan bagi pendidikan, Bank Dunia memberikan saran lebihrinci sebagai berikut.
            Pertama, bagi-ongkos dengan mahasiswa. Atau dengan katalain: mahasiswa diwajibkan untuk membayar sebagian biaya pendidikan yangsebelumnya dibayar pemerintah lewat subsidi. Sebisa mungkin pemerintah jugamenghilangkan subsidi untuk biaya-biaya non-instruksional atau di luar prosesbelajar mengajar, misalnya perumahan mahasiswa dan makanan.
            Kedua, pendidikan tinggi negeri musti membuka jalan yanglebar untuk pendanaan dari alumnus, bantuan dari luar, dan agensi-agensi yangmeminjamkan dana. Pendidikan tinggi baiknya mau menerima, atau berusahamendapatkan, bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga donor entah nasional atauinternasional. Pendidikan tinggi harus bekerja sama juga industri swasta.Implikasinya, pendidikan tinggi harus menyesuaikan lulusannya dengan kebutuhanindustri. Untuk meningkatkan kualitasnya, pendidikan tinggi juga harus beranimencari hutang.
            Ketiga, aktivitas yang menghasilkan pendapatan.Pendidikan tinggi bisa mencari pendapatan di luar biaya mahasiswa denganmengadakan kursus, penelitan kontrak untuk industri, dan layanan-layanankonsultasi. Dalam praktiknya saat ini, seperti di singgung di awal, pendidikantinggi merambah bisnis-bisnis yang jauh lebih besar dan menguntungkan.Misalnya, mendirikan hotel, home stay, rumahsusun, dan mini-market.
            Ketiga saran itu telah dilaksanakan dengan gegapgempita oleh institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia.Salah satu alasannya adalah karena pemerintah mengikuti anjuran Bank Duniauntuk mendefinisikan ulang perannya di dalam pendidikan tinggi. Pemerintahtelah membangun kerangka kebijakan yang koheren (mulai dari UU, PP,Permendiknas, hingga Renstra) yang semuanya mengarah pada pengurangan dana yangdiberikan pemerintah, mengandalkan insentif dan instrumen yangberorientasi-pasar untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya (kebijakan statuspendidikan tinggi, aturan-aturan percepatan masa kuliah demi produktivitasekonomi), dan memberikan otonomi pengelolaan bagi institusi-institusi negeri(muncul di UU Sisdiknas no. 20/2003, PP no. 66/2010, dan semua bab pengelolaanpendidikan di semua perundang-undangan pendidikan).
            Jika kita bandingkan produk perundang-undangan pendidikandan rekomenasi Bank Dunia melalui bukunya yang terbit 18 tahun lalu itu, tampakjelas sekali bahwa Pemerintah melaksanakan semua rekomendasi Bank Dunia.Kepatuhan pada rekomendasi kedua dan ketiga jelas terlihat dari kata-kata danfrasa-frasa kunci yang telah kami daftar dari produk perundang-undanganpendidikan. Rekomendasi pertama tidak perlu dijelaskan lebih lanjut melihatperkembangan jumlah pendidikan tinggi swasta yang menjamur beberapa tahunterakhir. Sedangkan kepatuhan pemerintah pada rekomendasi keempat dapat dilihatdari usaha pemerintah untuk menerapkan performance-basedbudgeting dan medium term expenditureframework sebagai cara yang ditempuh untuk meningkatkan kualitaspendidikan.
            Kepatuhan pemerintah pada rekomendasi Bank Duniamenunjukkan bahwa hubungan Bank Dunia—pemerintah bukan sekedar hubunganrekomendator—institusi-berdaulat, melainkan rekomendator—pelaksana. Dalamhubungan rekomendator—institusi-berdaulat, pemerintah tentu memiliki pilihanuntuk menolak atau menerima sebagian rekomendasi Bank Dunia. Tapi, adakemungkinan lain: bahwa pemerintah menerima semua hasil penelitian Bank Duniabeserta rekomendasi-rekomendasinya sebagai kebenaran tunggal, sebagai jalankeluar yang dianggap tepat oleh pemerintah. Menganggaphasil-penelitian-sebagai-kebenaran tentu adalah jalan pintas karena mungkinpemerintah tidak mampu melakukan penelitian sendiri, atau malas untukmelakukannya.
           
Untuk memahami lebihlanjut soal hubungan Indonesiadan Bank Dunia, baiknya kita periksa dulu apa sebenarnya lembaga yang dinamakanBank Dunia itu. Juga, kita periksa lembaga-lembaga lain yang terkait eratdengan kerja Bank Dunia, yakni IMF dan WTO.

Indonesia, BankDunia, IMF, dan WTO[6]
Pasca perang dunia keII, Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya negara yang memiliki cadanganekonomi yang tetap kuat.  Eropa secarakeseluruhan (termasuk Britania Raya) bangkrut akibat resesi ekonomi di abad 19dan Eropa Barat hancur akibat Perang. Asia,yang didominasi oleh Jepang, juga ambruk setelah dikalahkan sekutu. Jatuhnyabom atom di Hiroshima dan Nagasaki  menandai berakhirnya cita-cita kekuatan Asiatimur raya.  Mulai saat itu, AmerikaSerikat menjadi pemimpin ekonomi dunia yang tidak tersaingi. 
Momenpenting   detik-detik berakhirnya perangdunia II ditandai dengan  berkumpulya 44negara yang diprakarsai oleh Amerika dan Inggris, yakni pada 1-22 Juli 1944 di BrettonWoods, New Hamphsire .  Pertemuanyang berbentuk Konferensi Keuangan dan Finansial itu dimaksudkan sebagai langkah untuk mengatasikrisis ekonomi dunia pasca-perang; untuk lahirnya tatanan ekonomi baru dunia. Hasil pokok dari konferensi ituadalah kesepakatan untuk menciptakan suatu kerjasama ekonomi internasionalsebagai kunci perdamaian dan kesejahteraan dunia.  Adatiga pilar utama yang dilahirkan pada pertemuan ini , yaitu: IBRD (sekarangmenjadi bagian dari Bank Dunia), IMF, dan GATT (pada tahun1995 berubah menjadi WTO).
Padasaat menghadiri konferensi di Bretton Woods, masih jelas di kepala para pesertatentang Depresi Ekonomi 1930an. Gagasan liberalisme klasik dianggap gagal.Negara harus ikut campur dalam menangani masalah global. Oleh karena itu, salahsatu teori ekonomi yang dibahas dalam konferensi tersebut adalah teori ekonomiJohn Maynard Keynes. Dalam konferensi itu, lahirlah apa yang disebut sistemBretton Woods.
IMFmulai beroperasi pada 1 Maret 1947. Setiap negara anggota diwajibkan menyetorsejumlah uang yng telah ditetapkan kuotanya sesuai dengan kemampuan ekonominya.Dana talangan IMF dari setoran anggotanya itu ke negara yang dianggapmembutuhkan diharapkan dapat menyeimbangkan nilai tukar mata uang setiapanggota. Fungsi mulia IMF itu telah memikat banyak negara. Kini, hampir semuanegara menjadi anggota IMF. Dan kuota terbesar tetap milik Amerika Serikat(18%). Dengan begitu, Amerika memiliki pengaruh besar dalam pengambilan danpengendalian dana yang ditangani IMF.
SedangkanIBRD, sesuai namanya, merupakan lembaga yang dibangun dengan tujuan utama untukmembantu mendanai perkembangan ekonomi (jangka panjang). Dana dari IBRD, tidakseperti IMF, didapat dari investasi dari seluruh anggotanya. Perputaran uangnyamirip dengan Bank biasa: perputaran simpan-pinjam. Awalnya, dana IBRDdipinjamkan untuk pembiayaan rekonstruksi pasca-perang di Eropa Barat.Setelahnya, IBRD baru memutar haluannya untuk 'membantu' negara-negara miskin.Pada tahun 1940an saja, Bank Dunia telah memberi pinjaman lebih dari $330trilyun. Perputaran uang di Bank Dunia berkembang pesat.
            IMF dan Bank Dunia berkembang pesat, sedang GATTbermetamorfosis menjadi WTO. Sejak sebelum menjadi WTO, sejak tahun 1948 GATTtelah banyak menangani persetujuan mengenai tarif dan perdagangan.  Tujuan GATT pun sama mulianya dengan dualembaga lainnya:
Ø      Perdagangandunia yang bebas, tanpa diskriminasi.
Ø      Disiplin anggota dalam mengambil langkah dan tidak merugikan anggota lain.
Ø      Mencegahterjadinya perang dagang yang akan merugikan semua pihak  

Organisasi-organisasiinternasional yang lahir di Bretton Woods itu mendunia dengan cepat. Dan 9tahun setelah Indonesiamerdeka, namanya sudah tercantum dalam daftar anggota IMF dan Bank Dunia. Dimasa Soekarno, hubungan dengan lembaga-lembaga internasional itu bisa dibilangdinamis. Adapertentangan, ada pembangkangan. Gelora revolusi dan anti-penjajahan begitukuat hingga kepala selalu tegak dalam menghadapi siapapun. Apalagi, kekuasaanekonomi waktu itu berada di tangan negara. Hubungan menjadi berbeda sejak masaSoeharto.
            Soeharto memimpin dengan visi yang baru. Kemiskinan diIndonesia bisa diatasi dengan dana asing. Maka kita harus baik-baik dalamberhubungan dengan lembaga-lembaga internasional. Pada 1967 UU penanaman modalasing ditetapkan; dan pada kemudian disempurnakan lagi dalam UU no. VI tahun1969 dan UU no. XI tahun 1971.           
Pada 15Agustus 1971, Amerika secara sepihak mengakhiri konvertibilitas dolar terhadapemas. Sebagai hasilnya, sistem Bretton Woods secara resmi dianggap berakhir dandollar menjadi sepenuhnya 'fiat currency'yang tidak disokong oleh apapun kecuali janji dari pemerintah federal.[7]Meski demikian, peran IMF dan Bank Dunia justru semakin kuat.
Padadasawarsa 80-an Indonesiamengalami derita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. Di sini IMF danBank Dunia kembali memperlihatkan peranannya. Melalui nasihat  lembaga-lembaga ini, Indonesiadidesak untuk melakukan program peyesuaian struktural. Indonesiadiangap terlalu boros, terlalu mendominasi beberapa sektor ekonomi, melakukanproteksi ekonomi mikro, dan melakukan pembatasan impor. Semua itu adalahpenghambat pertumbuhan ekonomi, makanya harus segera diubah. Secara bertahap Indonesia punmelakukan nasihat-nasihat IMF dan Bank Dunia.
Memasukitahun tahun 1997, Indonesiakembali dilanda krisis ekonomi dengan turunnya kurs rupiah di perdagangan sahaminternasional. Soeharto kembali memanggil kembaran lembaga keuanganinternasional IMF dan Bank Dunia  sertaBank Pembangunan Asia (ADB) dan menyetujui penyesuaian ekonomi makro.Permintaan Soeharto itu bisa dibaca melalui surat negara kepada Direktur IMFpertanggal 31 oktober 1997 yang sekaligus merupakan memorandum of economic and financial policies (MEFP)  untuk mendapatkan dana siaga. Indonesia lebihjauh lagi harus melanjutkan deregulasi dan privatisasi, khususnya beberapaBUMN. Namun deregulasi dan privatisasi itu tidak sampai pada tenggak waktu yangditetapkan sesuai  perjanjian.  Pemerintah Indonesia  berdalih dan menyatakan bahwa penjualansaham-saham BUMN  tidak dapat dilakukandalam situasi pasar yang tidak menentu. Namun pada tahun 1999 kita dapat melihat pengumuman keberhasilanpemerintah yang mengangap telah berhasil menjual saham di beberapa perusahaanpabrik semen dan pengolah makanan sebesar 200 juta dollar amerika.
Daripenjabaran itu dapat dilihat bahwa buku HigherEducation adalah turunan dari perjanjian ekonomi Indonesia dengan lembaga-lembagaasing itu. Berkaitan dengan hubungan simbiosis mutualisme (atau parasitisme?)Bank Dunia—pemerintah, beberapa penelitian terbaru Bank Dunia memberikan kesanyang menarik.[8] Sejauhpembacaan kami atas beberapa penelitian, Bank Dunia tidak pernah melakukankritik terhadap asumsi-asumsi atau landasan kebijakan, melainkan fokus padabagaimana kebijakan pemerintah bisa dijalankan dengan lancar. Bank Duniabiasanya memberikan rekomendasi kepada pemerintah di akhir penelitian.Tampaknya, pemerintah sangat terbantu dengan penelitian-penelitian itu.Artinya, Bank Dunia menyetujui seluruh kebijakan pendidikan yang saat inidijalankan pemerintah. Dan alasan ke-setuju-an itu tentunya sudah jelas:Pemerintah melaksanakan rekomendasi Bank Dunia, tidak membuat peraturanperundang-undangan atas dasar penelitian sendiri. Dengan demikian, penelitianBank Dunia sesungguhnya merupakan langkah pengawasan: apakah pemerintahkonsisten menjalakan kebijakannya. Hubungan Bank Dunia—pemerintah sekarangadalah hubungan pengawas—pelaksanana.


Pemaksaan PolaManajemen
The real object of the 'revolutionary' managementtheory…[is] not efficiency or excellence or even empowerment, but a far moreabstract goal: the political dan social legitimacy of the corporation.
                                                                                                                        Thomas Frank

Dari hubunganlembaga-lembaga Internasional (Bank Dunia, IMF, dan WTO) dan Indonesia, dapatdikatakan bahwa yang sedang terjadi adalah 'pemaksaan kerja' atau imposition of work, meminjam istilahKarl Marx. Pemaksanaan kerja dimaksud bukan persis seperti konteks istilah itu,yakni pemaksaan orang untuk berpisah dari alat produksinya, untuk menjadiburuh—meskipun nuansanya tidak jauh. Akan tetapi, lebih tepatnya, pemaksaanmodel pengelolaan lembaga-lembaga negara. Pemaksaan bisa berlangsung dengankoersif maupun persuasif.
Dalamhal pendidikan, pergeseran pengelolaannya adalah dari pendidikan non-laba kependidikan laba, meski, tentu saja, tidak secara terus terang dinyatakan dalamUndang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang diurai di atas. Arah pendidikanlaba tampak jelas dari semua istilah kunci dalam perundang-undangan pendidikan Indonesia yangdirekomendasikan oleh Bank Dunia dan didukung oleh IMF dan WTO. Semua ituberjalan lewat setidaknya dua jalan persuasif. Pertama, melaluiperjanjian-perjanjian Indonesiadan lembaga-lembaga asing tersebut. Untuk mendapatkan 'bantuan', atau lebihtepatnya hutang, Indonesiaharus melakukan penyesuaian struktural (structuraladjustment). Penyesuaian yang dimaksud sudah dijelaskan. Kedua, melaluipenanaman keyakinan bahwa hanya dengan cara yang direkomendasikan  Bank Dunia dan IMF, yakni liberalisasi,masalah ekonomi Indonesiabisa diselesaikan. Kedua cara persuasif itulah yang melancarkan amandemen UUD1945 dan membuat kata-kata kunci manajemen korporasi masuk ke dalam UU dan PPpendidikan di Indonesia.
Denganmemakai kata 'pemaksaan', kami tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa Indonesia tidakbisa berbuat apapun—buktinya, hal-hal yang dianggap penting dalam pendidikan,misalnya, konsep nir-laba institusi pendidikan, tetap dipertahankan bahkandalam PK BLU; munculnya frasa 'basis keunggulan lokal' dalam pendidikan dasardan menengah. Namun memang, dalam pendidikan tinggi, konsep pengelolaannyahanya seperti copy paste saja dariBank Dunia. Dalam pertemuan-pertemuan konsep pendidikan, kami melihat bahwapemerintah berupaya untuk melakukan 'pemotongan-pemotongan', dalam arti memakaiistilah-istilah (beserta konsep-konsep) dari Bank Dunia dan IMF, tapi tetapberusaha mempertahankan nilai-nilai yang dianggap penting dalam pendidikan. Pundemikian, sekali orang mengikuti bahasa pasar, ia telah masuk jaring laba-labakorporasi. Dan itu tidak hanya berlaku bagi PTN, tapi juga pendidikan tinggiswasta karena akar pola manajemen ini dibangun dan dikembangkan sebagianbesarnya oleh PTS—dan memang menggiurkan.
Penanamankeyakinan liberal (atau neoliberal) di Indonesia, dan di manapun juga, bukanlahproyek kebohongan semata; yang berarti bahwa ketika kebenaran sesungguhnyaterungkap, masalahnya selesai dan lembaga-lembaga internasional itu akan lariterbirit-birit dari nusantara atau membubarkan diri. Keyakinan akan kebenaranliberalisasi sebagai satu-satunya jalan keluar—there is no alternative, menurut slogan terkenal dari Konsensus Washington—dilakukanmelalui penelitian berkala oleh orang-orang yang secara akademis kompeten.[9]
            Pun manajemen baru bagi pendidikan tinggi negeri.Manajemen berbasis kinerja, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas yang diAmerika kali pertama dikembangkan oleh John Sperling dengan PhoenixUniversity-nya telah terbukti menjadi tren global saat ini. Itu karena Phoenix menjadiuniversitas yang besar hanya dalam waktu singkat dan manajemen yangdiciptakannya dianggap 'revolusioner'.[10]  Teknik pengelolaan itu seperti dianggap lebihmurah (pemerintah tidak perlu terlalu banyak ambil bagian, kecuali sebagaifasilitator dan pemeriksa; investasi bisa tak terbatas), lebih adil (yangrajin, pekerja keras, pintar, dan kreatif akan mendapatkan lebih banyakdaripada yang malas dan bebal), lebih murah (tidak perlu ada dosen tetap, tidakperlu ada dana pensiun), lebih menghasilkan (semua 'produk' universitas bisadijual—dari materi kuliah, video perkuliahan, hingga hasil penelitiandosen-dosennya).
Karenamemakai logika korporasi, resep pendidikan tinggi dengan manajemen seperti itusebenarnya sederhana: ikutilah apa yang dibutuhkan pasar, dan tinggalkanlahyang lain; berikanlah apa yang dibutuhkan mahasiswa, bukan yang lain. Dengan gaya seorang sejarawan,Sperling mempertahankan metode pengelolaan universitas-universitasnya. Katanya,"Academia simply doesn't understand this.They call it McEducation. What we do is every bit as much education as theGreek system that served as the model for the modern university. Greekeducation prepared people for life. We prepare people for life or work.   

Ekonomi SebagaiPanglima
Pendidikan tinggi adalahsebuah institusi, sebuah organ yang hidup dalam jaringan dengan organ-organyang lain. Dalam hubungannya dengan negara, pendidikan tinggi di Negara DuniaKetiga dianggap sebagai mercusuar pengetahuan yang sangat menentukan masa depaneksistensi negara tersebut. Di Indonesia, misalnya, pendidikan tinggi sejakawal kehadiran dan pengembangannya telah memikul beban tugas yang tidak ringan.Selain sebagai tempat transfer dan pengembangan pengetahuan, pendidikan tinggibertugas mendukung pembangunan dengan 'menatar keahlian di seluruh sektornegeri maupun swasta'.[11]  Sedang di masa Pembangunan Soeharto,pendidikan tinggi tampaknya memiliki tugas ekonomi yang lebih besar lagi.Soedjatmoko pada tahun 1976 menyatakan bahwa universitas bertugas untukmengatasi masalah kembar keadilan sosial dan kesempatan kerja. Kenapa disebutmasalah kembar? Keadilan sosial di Indonesia, kata orang yang pernahmenjabat sebagai Rektor Universitas PBB itu, juga ditentukan oleh carapemecahan masalah kesempatan kerja.
            Kalau saat ini muncul banyak kritik tentang sekolahsebagai pencipta kawanan-yang-patuh, pencipta buruh, mesti disadari bahwa sejakawal tugas mencipta-pekerja itu sudah diemban oleh institusi pendidikan.Pendidikan tinggi memang dibangun untuk mengisi 'sektor negeri maupun swasta'.Dan industrialisasi mengamplifikasi tugas itu—membuat tugas-tugas lainnya tidaktampak atau memang kurang diperhatikan. Dan Manajemen baru yang 'revolusioner'itu semakin mengamplifikasi lagi hingga tak ada tempat di luar ekonomi, tak adapengetahuan di luar ekonomi. Kalau kita pernah merasa bahwa institusipendidikan itu bekerjasama dengan korporasi besar melalui penciptaan pekerjasiap pakai dan penelitian-penelitian, kini pendidikan di Indonesiasemakin identik dengan bisnis, yang akhirnya menjadi bisnis itusendiri—produk-produknya kemudian kita sebut komoditas.
            Menurut David Noble, ada tiga langkah dalam mengubahpendidikan menjadi komoditas. Pertama, perhatian digeser dari pengalaman orangyang terlibat dalam proses pendidikan ke produksi dan penginventarisanbermacam-macam "materi kuliah": silabus, kuliah, pelajaran, ujian. Materikuliah itu disebut pula kumpulan "isi". Langkah kedua, dan yang terpenting,adalah memindahkan atau 'mengalienasi' fragmen-fragmen itu dari konteksnya,yakni proses pendidikan itu sendiri, dan dari produsennya, guru/dosen; semuafragmen itu dikumpulkan menjadi "kuliah" yang keberadaannya independen danterpisah dari penciptanya; lalu "kuliah" itu diberi darah-daging. Terakhir,"kuliah" yang telah dikumpulkan dan diberi 'nyawa' itu ditukarkan di pasaruntuk mendapatkan laba. Pasar dan 'pemilik' barunya-lah yang menentukannilainya, sedang pencipta dan orang-orang yang terlibat dalam penciptaan itumungkin tidak lagi punya hubungan apapun dengan komoditas itu. Hasil darikomodifikasi itu bisa kita lihat dengan mudah melalui penjualan-penjualannya didunia maya. Pendidikan jarak jauh sudah mulai merebak; pendidikan yang lebihmurah, lebih bebas (tidak perlu ke kampus), dan lebih keren (karena memakaiteknologi komunikasi internet).
            Apa harga yang harus dibayar untuk komodifikasipendidikan itu? Beberapa peneliti dari berbagai belahan dunia telah melakukankajian tentang "budaya korporasi pendidikan" itu. Meski mengakui ada perubahanpositif dalam manajemen korporasi, sebagian besarnya mengungkapkan kekhawatiranmasuk-akal, dan sebagian telah melakukan langkah yang lebih jauh:pengorganisasian buruh intelektual. Yang terakhir itu bisa dilihat di Steal This University, dengan kontekskajian Amerika Serikat—kiblat pendidikan kita sekarang. Berikut kami rangkumbeberapa fakta kondisi akademis dari berbagai penelitian itu, yang tampaknyabelum terjadi di Indonesia:[12]
·      Di berbagai universitasdi Amerika, orang yang mendaftar jadi dosen harus menandatangani perjanjianyang salah satu poinnya adalah bahwa segala hasil penelitian, bahkan materikuliah dan proses mengajar di kelas (yang direkam) merupakan hak patenuniversitas; dan universitas bebas menggunakannya untuk kepentinganuniversitas.
·      Tidak perlu ada dosentetap untuk sebuah universitas; dosen panggilan atau dosen kontrak lebih murahgaji dan tunjangannya (kalau ada).
·      Pendidikan tingginirlaba dengan manajemen 'tradisional', sebagai lawan kata dari manajemen'revolusioner', hampir habis di Amerika Serikat.
·      Dengan sistem pembayaranberdasar kinerja, persaingan antar-dosen meningkat; kerjasama untuk pengetahuanmenurun.
·      Meski pembukaan banyakuniversitas swasta dan perluasan pendidikan negeri membuka banyak kesempatankerja, kondisi pekerja secara umum menurun, khususnya untuk pendidikan tinggidengan dana minimal.
·      Karena tidak lagimenjadi pegawai negeri, akademisi diharapkan untuk mampu menegosiasikan gajidan kondisi kerjanya dalam basis institusional (otonomi).
·      Pendidikan dianggapsemakin kehilangan rohnya—yakni pertemuan dan dinamika dosen-mahasiswa,dosen-dosen, dan mahasiswa-mahasiswa—karena pendidikan telah dipecah-pecah dandijual terpisah.

0 comments:

Post a Comment