RUMAH ANAK BANGSA |
EKONOMI PANGLIMA PENDIDIKAN, Diskusi RAB Posted: 24 Feb 2012 12:59 AM PST EKONOMISEBAGAI PANGLIMA: TELAAH UNDANG-UNDANG PENGELOLAAN PENDIDIKAN TINGGI DI Irfan Palippui dan Wahmuji[1] PENGANTAR Dalam dasawarsaterakhir, begitu banyak perguruan tinggi (PT) di Indonesia, entah swasta maupunnegeri, secara hampir bersamaanmembangun gedung-gedung baru bertingkat yang megah. Itu yang tampak dari luar.Dan 'lomba pembangunan' antar-PT itu tidak berhenti di gedung saja. Fasilitas-fasilitasdi dalam kampus juga di-upgrade,disesuaikan dengan teknologi terbaru. Juga, bahasa pun tampaknya perlu di-upgrade ke bahasa yang mendunia, yaknibahasa Inggris. Universitas Negeri Yogyakarta kini punya nama baru yang lebihkeren, Istilah-istilah baru perihal status perguruan tinggimuncul berseliweran dan protes-protes juga banyak menghiasi media. Kita mendengarbahwa beberapa universitas di Kalau ditilik lagi, protes atas kebijakan pendidikanberlangsung cukup sering dan dalam waktu yang lama. Bahkan sejak UU Sisdiknasdisahkan pada 2003. Berbagai kalangan, utamanya dari intelektual umum danmahasiswa, menilai bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pendidikanmengarah pada satu tujuan: privatisasi pendidikan. Dan privatisasi pendidikandianggap sebagai jalan keluar pragmatis pemerintah untuk melepaskan diri daritanggung jawab pembiayaan pendidikan. Protes-protes itu biasanya tidak pernahmampu dijawab pemerintah dengan elegan, tapi justru dipatahkan dengan carapragmatis juga, yakni dihadapkan dengan aparat. Namun,gerakan protes ternyata tidak langsung reda. Berbagai jalur, entah litigasimaupun non-litigasi ditempuh bersama-sama. Akhirnya, usaha litigasi melaluipengajuan judicial review membuahkanhasil. Pada 31 Maret 2010, UU BHP dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Lalu, apayang terjadi setelahnya? Secara umum tampaknya tidak ada yang berbeda danmasyarakat awam tidak terlalu paham perbedaan-perbedaan status dandampak-dampaknya. Yang dirasakan hanyalah bahwa kini biaya perguruan tinggisemakin mahal. Uang DPP atau UKT naik secara drastis hampir tiap tahun. Sebagaicontoh, UGM yang konon merupakan kampus rakyat kini dianggap banyak orangsebagai kampus orang kaya. Perasaan protes itu pun bisa langsung ditangkaldengan mitos yang baik adalah yang mahal. Fenomena lain yang sedang mengemuka adalah kewirausahaanperguruan tinggi. Banyak perguruan tinggi membuat usaha sendiri, dari kantin,rumah susun, toko kelontong (mini-market),hingga hotel. Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan juga diarahkan atau paling tidakmengandung unsur kewirausahaan (entrepreneuship).Seminar-seminar tentang kewirausahaan banyak diselenggarakan di perguruantinggi. Bahkan, beberapa fakultas di luar ekonomi, misalnya Bahasa dan Sastra,Ilmu Pendidikan, atau Olahraga ikut menyelenggarakan seminar kewirausahaan. Apakah semua fenomena itu saling terkait? Kalo iya, apaatau bagaimana hubungan satu fenomena dengan fenomena lainnya? Siapakah yangmenelorkan konsep-konsep baru mengenai pendidikan tinggi di Pertanyaan-pertanyaan itu akan kami coba jawab denganmenyelidiki data-data mengenai kebijakan-kebijakan yang melandasi tata keloladan keuangan pendidikan tinggi, akar dari kebijakan-kebijakan itu, dan parapemangku kepentingan yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, kamijuga memaparkan kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi, mengambil poin dariberbagai penelitian tentang subjek yang sama di berbagai negara. Kami memilihuntuk menyelidiki peraturan-peraturan mengenai tata kelola perguruan tinggi,meski sedikit banyak peraturan lain akan disinggung, karena dalam dasarpengelolaan suatu lembaga terkandung seluruh visi dan misi, sertakemungkinan-kemungkinan jalan yang akan ditempuh untuk mencapainya. ANALISIS Undang-undang danPeraturan Pemerintah Dasar semua hukum di Marikita selidiki apa isi pasal-pasal itu. Pasal 50 terdiri dari 7 ayat, berisikanantara lain penanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional (menteri),penentu kebijakan standar nasional pendidikan (pemerintah), kewajibanpemerintah daerah perihal penyelenggaraan satuan pendidikan, proses koordinasiatas penyelenggaraan pendidikan, kewajiban pemerintah kabupaten/kota untukmenyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi perguruan tinggi.Yang menarik dari tujuh ayat dalam pasal itu adalah munculnya frase dan istilah'bertaraf internasional', 'berbasis keunggulan lokal', dan dan 'otonomiperguruan tinggi.' Frase 'bertaraf internasional' dilekatkan pada semua jenjangpendidikan. Maka, tidaklah heran kalau kita melihat banyak SD, SLTP, maupunSLTA, selain perguruan tinggi, yang mencoba melabeli dirinya 'bertarafinternasional.' Frase 'berbasis keunggulan lokal' dilekatkan pada pendidikandasar dan pendidikan menengah. Istilah-istilahitu dapat ditemukan definisinya di berbagai pasal di PP no. 66 tahun 2010.Pasal 1 ayat 34, misalnya, mendefinisikan 'pendidikan berbasis keunggulanlokal' sebagai pendidikan yangdiselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkayadengan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah. Sedangkan pasalyang sama ayat 35 mendefinisikan 'pendidikan bertaraf internasional' sebagai pendidikan yang diselenggarakansetelah memenuhi StandarNasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan Negara maju. Dalam definisi itu, ada tiga elemen yang dibayangkan:lokal, nasional, dan internasional. Dan pendidikan Pasalselanjutnya dari Sisdiknas, yakni pasal 51, berbicara mengenai dasarpelaksanaan standar pendidikan. Pendidikan usia dini, pendidikan dasar danpendidikan menengah didasarkan pada prinsip manajemen berbasis sekolah; sedangpendidikan tinggi berdasarkan otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, danevaluasi yang transparan. Penjelasan atas istilah-istilah dasar pengelolaan itudijabarkan pula di PP no. 66/2010, yakni di pasal 49 ayat 2. Prinsip-prinsippengelolaan satuan pendidikan merujuk pada a) Nirlaba,yaitu prinsip kegiatan satuan pendidikan yang bertujuan utama tidak mencari keuntungan, sehingga seluruhsisa lebih hasil kegiatan satuan pendidikan harus digunakan untukmeningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan satuan pendidikan; b) Akuntabilitas,yaitu kemampuan dan komitmen satuan pendidikan untuk mempertanggungjawabkan semuakegiatan yang dijalankan kepada pemangku kepentingan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan; c) Penjaminanmutu, yaitu kegiatan sistemik satuan pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan formal yangmemenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan secaraberkelanjutan; d) Transparansi,yaitu keterbukaan dan kemampuan satuan pendidikan menyajikan informasi yang relevan secara tepatwaktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yangberlaku kepada pemangku kepentingan;dan e) Aksesberkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calonpeserta didik dan peserta didik, tanpa pengecualian. Sedangkanuntuk otonomi PTN, penjelasannya ada dalam pasal 58 dari PP yang sama. Otonomidiartikan kewenangan rektor, ketua, atau direktur untuk menentukan secaramandiri satuan pendidikan yang dikelolanya. Kewenangan itu antara lain dalambidang manajemen organisasi, akademik, kemahasiswaan, sumber daya manusia,sarana dan prasarana, dan keuangan. Singkatnya, pengaturan satuan pendidikantidak lagi terpusat, meski pemerintah, melalui DIKTI, masih bisa melakukanpengawasan intervensionis melalui akreditasi, pengecekan laporan, dll. Selanjutnya,pasal 52 dari UU Sisdiknas berbicara mengenai pendidikan nonformal. Pendidikanini dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Tidakada yang perlu dibicarakan mengenai pasal itu. Pasal selanjutnya-lah yangmengundang kontroversi. Pasal 53 berbicara tentang Badan Hukum Pendidikan. Dipasal itu dinyatakan bahwa "penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formalyang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan."Ketentuan mengenai badan hukum pendidikan itu kemudian melahirkan UU BHP. Bablain yang terkait erat dengan pengelolaan kampus adalah Pendanaan Pendidikan(pasal 46-49). Dalam 4 pasal itu, secara umum ditentukan bahwa (1) pendanaanpendidikan menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, danmasyarakat; (2) sumber pendanaan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dankeberlanjutan; (3) pengelolaan dana didasarkan pada prinsip keadilan,efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik; dan (4) alokasi dana minimal20% dari APBN dan APBD bagi dunia pendidikan di luar gaji pendidik dan biayapendidikan kedinasan. Dalam perkembangannya, Pemerintah memasukkan gajipendidik dan biaya pendidikan kedinasan dalam cakupan dana 20% dari APBN danAPBD itu. Rincian mengenai Pendanaan Pendidikan kemudian diatur dengan PP no.48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan PP no. 48 tahun 2008 tentangStandar Nasional Pendidikan. Sepertidiceritakan di awal, saat ini UU BHP yang lahir dari pasal 53 UU Sisdiknastelah dibatalkan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi. Berikut kami paparkansecara singkat bergulirnya wacana yang mengemuka hingga dicabutnya UU itu. Protesterhadap kebijakan pendidikan nasional sudah berlangsung sejak lama danprivatisasi pendidikan adalah isu utama yang mengemuka. Isu privatisasidihubungkan secara cukup tepat oleh para kritikus dengan International MonetaryFund (IMF). Pada masa krisis moneter 1997-1998, Aromaprivatisasi pendidikan tinggi negeri dicium dari beberapa pasal dalam UUSisdiknas, terutama yang berkaitan dengan bergesernya tanggungjawab pemerintahdalam pembiayaan. Pasal-pasal itu antara lain pasal 9, 11, dan 12. Pasal 9 menyatakan bahwa "masyaratkanberkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan."Sedangkan pasal 12 ayat 2(b) memberi dasar pada kewajiban peserta didik untukikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, meski beberapa dibebaskanmelalui beasiswa sesuai dengan ketentuan undang-undang yang lain. Sedangkanpasal 11 UU Sisdiknas ayat (1) dan (2) dengan halus menggeser kadar keharusanpemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Di ayat (1) dinyatakan bahwa "[p]emerintah dan pemerintah daerahwajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannyapendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi." Kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah hanyaterbatas jaminan "terselenggaranya pendidikan", sedangkan dana pendidikan tidakharus, atau lebih tepatnya tidak perlu, diberikan oleh pemerintah. Namun, tetapada pengecualian, yakni pada program wajib belajar. Perihal itu dijabarkan diayat selanjutnya yang menyatakan bahwa wajib belajar adalah "program pendidikanminimal yang harus diikuti oleh warga negara Buahtidak akan jatuh jauh dari pohonnya. UU BHP konsisten dengan pasal-pasal di UUSisdiknas mengenai pengelolaan pendidikan tinggi. Bau badannya sama:privatisasi. Makanya, mudah saja bau itu dicium bahkan saat RUU BHP sedangdibahas oleh komisi X Salahsatu bagian yang dikritik dan ditolak oleh GERAM adalah 2 prinsip UU BHPdibuat, yang maktub di Pengantar Umum. a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis danberkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasimanusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, dan b. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakansemua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan danpengendalian mutu layanan pendidikan. Apa yang salah dari dua poin itu? Poin (a) sama sekali tidakbermasalah, dan bisa dibilang mulia. Poin (b) pun bisa dikata merupakan turunanlangsung dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan: bahwa kinimasyarakat terlibat aktif baik dalam penyelenggaraan maupun pengendalian mutupendidikan. Tapi justru hal itulah yang menimbulkan kecurigaan. Dan kecurigaanitu mulai menemukan jawabnya di poin pembuka, tepatnya di bagian menimbang huruf a. Disebutkan di situbahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, diperlukanotonomi dalam pengelolaan pendidikan formal. Perihal otonomi sudah dijelaskandi UU Sisdiknas dan diulangi lagi di UU BHP dan diberi penjelasan di pasal 3. Pasal selanjutnya yang mendapat sorotanadalah pasal 11. Di ayat 1 huruf (d) disebutkan bahwa kekayaan BHP dipisahkandari kekayaan pribadi. Ayat 2 dari pasal yang sama menyatakan bahwa Kekayaanyang dimiliki BHP harus mencukupi biaya investasi dan operasional pendidikan.Di situ bau privatisasi sudah sangat menyengat. Kata investasi pun menguatkan perkiraan bahwa sekolah adalah bisnis.Pengelolaan yang otonom berarti pengelolaan mandiri, pemerintah tidak akanturut campur. Lalu, siapa yang akan memberikan dana investasi dan operasional? Bab IV, mengenai Tata Kelola, menjelaskanbahwa struktur organ pemangku kepentingan berasal dari berbagai kalangan.Struktur yang terdiri dari organ-organ, dan dijelaskan dengan rinci lewat pasal14-36 itu dianggap sebagai struktur perusahan terbuka. Ciri utamanya adalahbahwa anggaran sebuah BHP dibuat oleh pendiri. Pemisahan fungsi akademik dannon-akademik juga ditengarai membuka jalan untuk membisniskan pendidikan. Bab V berbicara mengenai Kekayaan, dan bisadibilang lanjutan rinci dari poin (d) ayat 1 pasal 11. Dijelaskan di bab itubahwa kekayaan BHP didapat dari jumlah kekayaan awal dan pendapatan yangdiperoleh. Itulah kata kunci lainnya: pendapatan. Artinya: laba dari aktivitaskomersil. Bentuk kekayaan bisa berupa uang dan barang yang bisa dinilai denganuang—termasuk di dalamnya hak paten atas kekayaan intelektual. Kekayaanintelektual menjadi milik institusi! Bab VI, mengenai Pendanaan, memperkuat hakpemerintah untuk lepas tangan dari pembiayaan pendidikan. Bab itu adalahturunan langsung dari pasal 11 UU Sisdiknas ayat 1 dan 2. Isinya pun hampirsama, terutama perihal siapa saja yang bertanggung jawab atas biaya pendidikan.Tambahannya adalah rincian pembagian pendidikan tinggi menjadi Badan HukumPendidikan Pemerintah (BHPP), Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD),Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), dan BHP Penyelenggara. Bentuk badanhukum yang disebut terakhir mengacu pada institusi pendidikan yang didirikanmasyarakat dan sudah ada sebelum UU BHP disahkan. BHP Penyelenggara bisamelakukan investasi dalam bentuk portfolio (perjanjian kerjasama ataupunhutang) dan dapat mendirikan badan usaha berbadan hukum (pasal 42 dan 43). Itulah pasal-pasalmantan UU BHP yang dikritik. Setelah UU BHP dicabut Mahkamah Konstitusi,pemerintah PP no. 66 tahun 2010 sebagai payung hukum pendidikan tinggi diIndonesia. Sementara itu, sebagai ganti UU BHP, dirancanglah UU PendidikanTinggi (PT). Perbedaan UU BHP dan RUUPendidikan Tinggi telah dipetakan denganbaik oleh Darmaningtyas.[4] Kata otonomimendominasi pengelolaan pendidikan tinggi, baik itu di UU Sisdiknas, UU BHPmaupun di RUU PT. Kata mandiri munculdi UU BHP menunjukkan dengan lebih jelas apa arti sebenarnya dari otonomi: bahwa pendidikan tinggi harusbisa menghidupi dirinya sendiri (pasal-pasalnya sudah disebut di atas). Maknaitu lebih jelas lagi jika ditelisik prinsip-prinsip berjalannya otonomi. Di UUBHP jelas maktub di pasal 4 bahwa yang dimaksud otonomi adalah kewenangan dankemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri (baik akademik maupunnon-akademik). Sedangkan di RUU PT, prinsipnya lebih abstrak, tapidiksi-diksinya tetap menyalin apa yang sudah dijabarkan di PP no. 66 tahun2010. Di antaranya adalah akuntabilitas, transparansi, efektivitas danefisiensi; dan yang lebih baru, kreativitas dan inovasi. Otonomidimaksud di UU BHP dan RUU PT semuanya mencakup bidang akademik dannon-akademik. Yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah otonomi non-akademik,sedang otonomi akademik adalah persoalan lain yang juga rumit. Secara umummungkin dapat dikatakan bahwa persoalan otonomi akademik dalam perguruan tinggibelum menemui satu kontroversi yang besar, yang membangun secara kritismaknanya sendiri. Selain itu, keberadaan Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi(DIKTI) yang mengatur dan mengawasi gerak institusi-institusi pendidikan tinggimembuat makna frasa otonomi akademik perludiselidiki lagi. Seperti disinggung di muka, beberapa universitas yangdulunya berstatus BHMN kini bersiap-siap untuk menjadi Badan Layanan Umum(BLU). BLU adalah bagian dari Undang-undang Perbendaharaan Negara, tepatnya BabXII tentang Pengelolaan Keuangan Negara. Munculnya BLU didasari persepsi umumyang berlaku dalam masyarakat tentang oposisi antara pelayanan umum yangbersifat publik (negeri) dan swasta (korporasi). Pelayanan umum yang bersifatpublik dicirikan dengan motif menyediakan layanan bagi masyarakat, pendanaandari penerimaan pajak, dan pengelolaan melalui sistem APBN. Sedangkan swastadicirikan dengan motif mencari untung, pendanaan dari masyarakat, danpengelolaannya tidak melalui APBN. Kualitas dan harga dari kedua layanan umumitu dirasa berbanding lurus: layanan publik berkualitas rendah dan didapatdengan biaya rendah, sedang layanan swasta sebaliknya. BLU dianggapsintesisnya: kualitas tinggi, harga 'tengah-tengah', lembaganya tetappemerintah, tapi model pengelolaannya model korporasi. Dengan model inidiharapkan pelayanan publik menjadi lebih efisien dan efektif. Pengelolaan Keuangan model BLU, memakaikata-kata Dirjen Perbendaharaan, merupakan "implementasi enterprising the government dan penganggaran berbasis kinerja."[5]Kami rasa perubahan status lembaga-lembaga pendidikan tinggi itu tidak banyakmempengaruhi perubahan paradigma pengelolaan pendidikan tinggi (otonomi,akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dll), tapi justrumelapangkan jalan untuk melaksanakannya secara efektif dan efisien. Keseluruhan konsep dalam payung hukum perundang-undanganPendidikan Tinggi di Indonesia itu, dari UU hingga PP, diusahakan untukterlaksana secara baik dan benar. Oleh karenanya, Departemen PendidikanNasional meluncurkan Rencana Strategis untuk tahun 2010-2014. Di dalam Renstra itu BHP, yang sudah dicabut MK,memang masih menjadi salah satu landasannya. Akan tetapi, dicabutnya BHPtampaknya tidak banyak memengaruhi strategi-strategi yang dirumuskan. Landasanpenelitian yang dipakai Departemen Pendidikan Nasional dan paradigmapengelolaan pendidikan yang tertuang dalam UU Sisdiknas dan PP-PP turunannyatetap bisa dianggap valid. Akar Paradigma Beberapa kali kami telahmenyebut 'paradigma' untuk mengacu pada kesatuan kata-kata atau frasa-frasakunci dalam perundang-undangan pendidikan di Higher Education berisi telaah BankDunia mengenai kondisi pendidikan tinggi di negara berkembang danrekomendasi-rekomendasi untuk melakukan reformasi pendidikan. Bank Duniamenganggap bahwa pendidikan tinggi berada dalam kondisi krisis. Krisis yangdimaksud adalah kondisi pergulatan pendidikan tinggi untuk menjaga ataumeningkatkan kualitasnya saat anggaran pendidikan—khususnya pengeluaran untuktiap mahasiswa—ditekan. Pemerintah tidaksanggup lagi memberikan dana yang melimpah untuk pendidikan tinggi sedangpendidikan tinggi terlalu tergantung pada pemerintah. Menurut Bank Dunia,fenomena itu terjadi di seluruh negara di dunia. Dan kondisinya lebih parah dinegara-negara berkembang karena dua hal. Pertama, penyesuaian fiskal di negara berkembangsulit dilakukan; kedua, negara berkembang susah untuk mencegah espansipendaftaran mahasiswa karena rasio pendaftaran mahasiswa (mahasiswa yangkuliah) rendah. Mengikuti perkembangan industri dan kebutuhan akan tenagakerja, negara-negara berkembang mencoba mengatasi masalah-masalah pendidikantingginya dengan subsidi. Akan tetapi, kebijakan itu, menurut Bank Dunia, tidakakan mampu bertahan untuk membiayai mahasiswa yang jumlahnya akan terusbertambah dan justru kualitas pendidikan menurun. Bank Dunia juga menambahkanbahwa subsidi yang dikeluarkan pemerintah negara berkembang tidaklah efisiendan merupakan "pengeluaran sosial yang regresif" karena banyak mahasiswauniversitas yang berasal dari kelas atas. Untuk mengatasi masalah-masalah itu, diperlukan reformasipendidikan. Bank Dunia memberikan strategi untuk reformasi pendidikan denganmemberikan empat arahan kunci. Keempatnya, kami terjemahkan langsung dari Higher Education, adalah: · Mendorong diferensiasiyang lebih luas untuk institusi-institusi, termasuk perkembangan institusiswasta · Menyediakan insentifbagi institusi negeri untuk mendiversifikasi sumber-sumber pendanaan, termasukbagi-ongkos dengan mahasiswa, dan mentautkan secara erat pendanaan pemerintahpada kinerja · Mendefinisikan ulang peranpemerintah di pendidikan tinggi · Memperkenalkankebijakan-kebijakan yang secara eksplisit dirancang untuk memberikan prioritaspada tujuan-tujuan kualitas dan kesetaraan Tujuan pokok reformasipendidikan adalah untuk meningkatkan kesetaraan, efisiensi, dan kualitas sistempendidikan negara berkembang. Tujuan pokok itu bisa dicapai dengan empat arahanyang saling terkait tersebut. Di sini fokus pembicaraan adalah arahan kunciyang kedua, meski yang ketiga jelas terkait erat. Di dalam penjabaran arahan kedua,yakni perihal pendanaan bagi pendidikan, Bank Dunia memberikan saran lebihrinci sebagai berikut. Pertama, bagi-ongkos dengan mahasiswa. Atau dengan katalain: mahasiswa diwajibkan untuk membayar sebagian biaya pendidikan yangsebelumnya dibayar pemerintah lewat subsidi. Sebisa mungkin pemerintah jugamenghilangkan subsidi untuk biaya-biaya non-instruksional atau di luar prosesbelajar mengajar, misalnya perumahan mahasiswa dan makanan. Kedua, pendidikan tinggi negeri musti membuka jalan yanglebar untuk pendanaan dari alumnus, bantuan dari luar, dan agensi-agensi yangmeminjamkan dana. Pendidikan tinggi baiknya mau menerima, atau berusahamendapatkan, bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga donor entah nasional atauinternasional. Pendidikan tinggi harus bekerja sama juga industri swasta.Implikasinya, pendidikan tinggi harus menyesuaikan lulusannya dengan kebutuhanindustri. Untuk meningkatkan kualitasnya, pendidikan tinggi juga harus beranimencari hutang. Ketiga, aktivitas yang menghasilkan pendapatan.Pendidikan tinggi bisa mencari pendapatan di luar biaya mahasiswa denganmengadakan kursus, penelitan kontrak untuk industri, dan layanan-layanankonsultasi. Dalam praktiknya saat ini, seperti di singgung di awal, pendidikantinggi merambah bisnis-bisnis yang jauh lebih besar dan menguntungkan.Misalnya, mendirikan hotel, home stay, rumahsusun, dan mini-market. Ketiga saran itu telah dilaksanakan dengan gegapgempita oleh institusi-institusi pendidikan tinggi di Jika kita bandingkan produk perundang-undangan pendidikandan rekomenasi Bank Dunia melalui bukunya yang terbit 18 tahun lalu itu, tampakjelas sekali bahwa Pemerintah melaksanakan semua rekomendasi Bank Dunia.Kepatuhan pada rekomendasi kedua dan ketiga jelas terlihat dari kata-kata danfrasa-frasa kunci yang telah kami daftar dari produk perundang-undanganpendidikan. Rekomendasi pertama tidak perlu dijelaskan lebih lanjut melihatperkembangan jumlah pendidikan tinggi swasta yang menjamur beberapa tahunterakhir. Sedangkan kepatuhan pemerintah pada rekomendasi keempat dapat dilihatdari usaha pemerintah untuk menerapkan performance-basedbudgeting dan medium term expenditureframework sebagai cara yang ditempuh untuk meningkatkan kualitaspendidikan. Kepatuhan pemerintah pada rekomendasi Bank Duniamenunjukkan bahwa hubungan Bank Dunia—pemerintah bukan sekedar hubunganrekomendator—institusi-berdaulat, melainkan rekomendator—pelaksana. Dalamhubungan rekomendator—institusi-berdaulat, pemerintah tentu memiliki pilihanuntuk menolak atau menerima sebagian rekomendasi Bank Dunia. Tapi, adakemungkinan lain: bahwa pemerintah menerima semua hasil penelitian Bank Duniabeserta rekomendasi-rekomendasinya sebagai kebenaran tunggal, sebagai jalankeluar yang dianggap tepat oleh pemerintah. Menganggaphasil-penelitian-sebagai-kebenaran tentu adalah jalan pintas karena mungkinpemerintah tidak mampu melakukan penelitian sendiri, atau malas untukmelakukannya. Untuk memahami lebihlanjut soal hubungan Indonesia, BankDunia, IMF, dan WTO[6] Pasca perang dunia keII, Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya negara yang memiliki cadanganekonomi yang tetap kuat. Eropa secarakeseluruhan (termasuk Britania Raya) bangkrut akibat resesi ekonomi di abad 19dan Eropa Barat hancur akibat Perang. Momenpenting detik-detik berakhirnya perangdunia II ditandai dengan berkumpulya 44negara yang diprakarsai oleh Amerika dan Inggris, yakni pada 1-22 Juli 1944 di BrettonWoods, New Hamphsire . Pertemuanyang berbentuk Konferensi Keuangan dan Finansial itu dimaksudkan sebagai langkah untuk mengatasikrisis ekonomi dunia pasca-perang; untuk lahirnya tatanan ekonomi baru dunia. Hasil pokok dari konferensi ituadalah kesepakatan untuk menciptakan suatu kerjasama ekonomi internasionalsebagai kunci perdamaian dan kesejahteraan dunia. Padasaat menghadiri konferensi di Bretton Woods, masih jelas di kepala para pesertatentang Depresi Ekonomi 1930an. Gagasan liberalisme klasik dianggap gagal.Negara harus ikut campur dalam menangani masalah global. Oleh karena itu, salahsatu teori ekonomi yang dibahas dalam konferensi tersebut adalah teori ekonomiJohn Maynard Keynes. Dalam konferensi itu, lahirlah apa yang disebut sistemBretton Woods. IMFmulai beroperasi pada 1 Maret 1947. Setiap negara anggota diwajibkan menyetorsejumlah uang yng telah ditetapkan kuotanya sesuai dengan kemampuan ekonominya.Dana talangan IMF dari setoran anggotanya itu ke negara yang dianggapmembutuhkan diharapkan dapat menyeimbangkan nilai tukar mata uang setiapanggota. Fungsi mulia IMF itu telah memikat banyak negara. Kini, hampir semuanegara menjadi anggota IMF. Dan kuota terbesar tetap milik Amerika Serikat(18%). Dengan begitu, Amerika memiliki pengaruh besar dalam pengambilan danpengendalian dana yang ditangani IMF. SedangkanIBRD, sesuai namanya, merupakan lembaga yang dibangun dengan tujuan utama untukmembantu mendanai perkembangan ekonomi (jangka panjang). Dana dari IBRD, tidakseperti IMF, didapat dari investasi dari seluruh anggotanya. Perputaran uangnyamirip dengan Bank biasa: perputaran simpan-pinjam. Awalnya, dana IBRDdipinjamkan untuk pembiayaan rekonstruksi pasca-perang di Eropa Barat.Setelahnya, IBRD baru memutar haluannya untuk 'membantu' negara-negara miskin.Pada tahun 1940an saja, Bank Dunia telah memberi pinjaman lebih dari $330trilyun. Perputaran uang di Bank Dunia berkembang pesat. IMF dan Bank Dunia berkembang pesat, sedang GATTbermetamorfosis menjadi WTO. Sejak sebelum menjadi WTO, sejak tahun 1948 GATTtelah banyak menangani persetujuan mengenai tarif dan perdagangan. Tujuan GATT pun sama mulianya dengan dualembaga lainnya: Ø Perdagangandunia yang bebas, tanpa diskriminasi. Ø Disiplin anggota dalam mengambil langkah dan tidak merugikan anggota lain. Ø Mencegahterjadinya perang dagang yang akan merugikan semua pihak Organisasi-organisasiinternasional yang lahir di Bretton Woods itu mendunia dengan cepat. Dan 9tahun setelah Soeharto memimpin dengan visi yang baru. Kemiskinan diIndonesia bisa diatasi dengan dana asing. Maka kita harus baik-baik dalamberhubungan dengan lembaga-lembaga internasional. Pada 1967 UU penanaman modalasing ditetapkan; dan pada kemudian disempurnakan lagi dalam UU no. VI tahun1969 dan UU no. XI tahun 1971. Pada 15Agustus 1971, Amerika secara sepihak mengakhiri konvertibilitas dolar terhadapemas. Sebagai hasilnya, sistem Bretton Woods secara resmi dianggap berakhir dandollar menjadi sepenuhnya 'fiat currency'yang tidak disokong oleh apapun kecuali janji dari pemerintah federal.[7]Meski demikian, peran IMF dan Bank Dunia justru semakin kuat. Padadasawarsa 80-an Memasukitahun tahun 1997, Daripenjabaran itu dapat dilihat bahwa buku HigherEducation adalah turunan dari perjanjian ekonomi Pemaksaan PolaManajemen The real object of the 'revolutionary' managementtheory…[is] not efficiency or excellence or even empowerment, but a far moreabstract goal: the political dan social legitimacy of the corporation. – Thomas Frank Dari hubunganlembaga-lembaga Internasional (Bank Dunia, IMF, dan WTO) dan Indonesia, dapatdikatakan bahwa yang sedang terjadi adalah 'pemaksaan kerja' atau imposition of work, meminjam istilahKarl Marx. Pemaksanaan kerja dimaksud bukan persis seperti konteks istilah itu,yakni pemaksaan orang untuk berpisah dari alat produksinya, untuk menjadiburuh—meskipun nuansanya tidak jauh. Akan tetapi, lebih tepatnya, pemaksaanmodel pengelolaan lembaga-lembaga negara. Pemaksaan bisa berlangsung dengankoersif maupun persuasif. Dalamhal pendidikan, pergeseran pengelolaannya adalah dari pendidikan non-laba kependidikan laba, meski, tentu saja, tidak secara terus terang dinyatakan dalamUndang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang diurai di atas. Arah pendidikanlaba tampak jelas dari semua istilah kunci dalam perundang-undangan pendidikan Denganmemakai kata 'pemaksaan', kami tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa Penanamankeyakinan liberal (atau neoliberal) di Indonesia, dan di manapun juga, bukanlahproyek kebohongan semata; yang berarti bahwa ketika kebenaran sesungguhnyaterungkap, masalahnya selesai dan lembaga-lembaga internasional itu akan lariterbirit-birit dari nusantara atau membubarkan diri. Keyakinan akan kebenaranliberalisasi sebagai satu-satunya jalan keluar—there is no alternative, menurut slogan terkenal dari Konsensus Pun manajemen baru bagi pendidikan tinggi negeri.Manajemen berbasis kinerja, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas yang diAmerika kali pertama dikembangkan oleh John Sperling dengan PhoenixUniversity-nya telah terbukti menjadi tren global saat ini. Itu karena Karenamemakai logika korporasi, resep pendidikan tinggi dengan manajemen seperti itusebenarnya sederhana: ikutilah apa yang dibutuhkan pasar, dan tinggalkanlahyang lain; berikanlah apa yang dibutuhkan mahasiswa, bukan yang lain. Dengan Ekonomi SebagaiPanglima Pendidikan tinggi adalahsebuah institusi, sebuah organ yang hidup dalam jaringan dengan organ-organyang lain. Dalam hubungannya dengan negara, pendidikan tinggi di Negara DuniaKetiga dianggap sebagai mercusuar pengetahuan yang sangat menentukan masa depaneksistensi negara tersebut. Di Indonesia, misalnya, pendidikan tinggi sejakawal kehadiran dan pengembangannya telah memikul beban tugas yang tidak ringan.Selain sebagai tempat transfer dan pengembangan pengetahuan, pendidikan tinggibertugas mendukung pembangunan dengan 'menatar keahlian di seluruh sektornegeri maupun swasta'.[11] Sedang di masa Pembangunan Soeharto,pendidikan tinggi tampaknya memiliki tugas ekonomi yang lebih besar lagi.Soedjatmoko pada tahun 1976 menyatakan bahwa universitas bertugas untukmengatasi masalah kembar keadilan sosial dan kesempatan kerja. Kenapa disebutmasalah kembar? Keadilan sosial di Kalau saat ini muncul banyak kritik tentang sekolahsebagai pencipta kawanan-yang-patuh, pencipta buruh, mesti disadari bahwa sejakawal tugas mencipta-pekerja itu sudah diemban oleh institusi pendidikan.Pendidikan tinggi memang dibangun untuk mengisi 'sektor negeri maupun swasta'.Dan industrialisasi mengamplifikasi tugas itu—membuat tugas-tugas lainnya tidaktampak atau memang kurang diperhatikan. Dan Manajemen baru yang 'revolusioner'itu semakin mengamplifikasi lagi hingga tak ada tempat di luar ekonomi, tak adapengetahuan di luar ekonomi. Kalau kita pernah merasa bahwa institusipendidikan itu bekerjasama dengan korporasi besar melalui penciptaan pekerjasiap pakai dan penelitian-penelitian, kini pendidikan di Menurut David Noble, ada tiga langkah dalam mengubahpendidikan menjadi komoditas. Pertama, perhatian digeser dari pengalaman orangyang terlibat dalam proses pendidikan ke produksi dan penginventarisanbermacam-macam "materi kuliah": silabus, kuliah, pelajaran, ujian. Materikuliah itu disebut pula kumpulan "isi". Langkah kedua, dan yang terpenting,adalah memindahkan atau 'mengalienasi' fragmen-fragmen itu dari konteksnya,yakni proses pendidikan itu sendiri, dan dari produsennya, guru/dosen; semuafragmen itu dikumpulkan menjadi "kuliah" yang keberadaannya independen danterpisah dari penciptanya; lalu "kuliah" itu diberi darah-daging. Terakhir,"kuliah" yang telah dikumpulkan dan diberi 'nyawa' itu ditukarkan di pasaruntuk mendapatkan laba. Pasar dan 'pemilik' barunya-lah yang menentukannilainya, sedang pencipta dan orang-orang yang terlibat dalam penciptaan itumungkin tidak lagi punya hubungan apapun dengan komoditas itu. Hasil darikomodifikasi itu bisa kita lihat dengan mudah melalui penjualan-penjualannya didunia maya. Pendidikan jarak jauh sudah mulai merebak; pendidikan yang lebihmurah, lebih bebas (tidak perlu ke kampus), dan lebih keren (karena memakaiteknologi komunikasi internet). Apa harga yang harus dibayar untuk komodifikasipendidikan itu? Beberapa peneliti dari berbagai belahan dunia telah melakukankajian tentang "budaya korporasi pendidikan" itu. Meski mengakui ada perubahanpositif dalam manajemen korporasi, sebagian besarnya mengungkapkan kekhawatiranmasuk-akal, dan sebagian telah melakukan langkah yang lebih jauh:pengorganisasian buruh intelektual. Yang terakhir itu bisa dilihat di Steal This University, dengan kontekskajian Amerika Serikat—kiblat pendidikan kita sekarang. Berikut kami rangkumbeberapa fakta kondisi akademis dari berbagai penelitian itu, yang tampaknyabelum terjadi di · Di berbagai universitasdi Amerika, orang yang mendaftar jadi dosen harus menandatangani perjanjianyang salah satu poinnya adalah bahwa segala hasil penelitian, bahkan materikuliah dan proses mengajar di kelas (yang direkam) merupakan hak patenuniversitas; dan universitas bebas menggunakannya untuk kepentinganuniversitas. · Tidak perlu ada dosentetap untuk sebuah universitas; dosen panggilan atau dosen kontrak lebih murahgaji dan tunjangannya (kalau ada). · Pendidikan tingginirlaba dengan manajemen 'tradisional', sebagai lawan kata dari manajemen'revolusioner', hampir habis di Amerika Serikat. · Dengan sistem pembayaranberdasar kinerja, persaingan antar-dosen meningkat; kerjasama untuk pengetahuanmenurun. · Meski pembukaan banyakuniversitas swasta dan perluasan pendidikan negeri membuka banyak kesempatankerja, kondisi pekerja secara umum menurun, khususnya untuk pendidikan tinggidengan dana minimal. · Karena tidak lagimenjadi pegawai negeri, akademisi diharapkan untuk mampu menegosiasikan gajidan kondisi kerjanya dalam basis institusional (otonomi). · Pendidikan dianggapsemakin kehilangan rohnya—yakni pertemuan dan dinamika dosen-mahasiswa,dosen-dosen, dan mahasiswa-mahasiswa—karena pendidikan telah dipecah-pecah dandijual terpisah. |
You are subscribed to email updates from RUMAH ANAK BANGSA To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
0 comments:
Post a Comment